Karena Traveling Tak Selalu Sesuai Ekspektasi #IniPlesirku

"Memiliki tujuan di akhir perjalanan adalah sesuatu yang bagus, tapi pada akhirnya, yang penting adalah perjalanannya.", Ernest Hemigway.
 
Setiap traveler memiliki ekspektasi yang berbeda pada setiap perjalanannya. Tetapi dapat diketahui, kebanyakan mengarah pada hal yang memuaskan hati seperti melihat matahari terbit, hawa dingin, fenomena alam khas, background alam yang menawan, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana jika perjalanan kita tak selalu sesuai ekspektasi?

Bertahun-tahun merindukan Bromo, sayang sekali harus melewatkan kawahnya dan Air Terjun Madakaipura.

 
Mendapat kesempatan tinggal di Surabaya, baru setelah 2,5 tahun, Juni 2015 saya berkesempatan mengunjungi Bromo. Dan benar saja, perjalanan dari Surabaya membutuhkan waktu 4 jam dengan perjalanan malam agar dapat menikmati sunrisenya. Bromo kala itu weekend sangat ramai pengunjung dimana setelah masuk gerbang sekitar 500 meter sebelum penanjakan 1, kendaraan tak dapat berjalan karena penuhnya jeep. Ditambah salah satu personel mengalami kerusakan sepeda motor yang mengharuskannya kembali turun untuk membenahi motornya. Setelah selesai menikmati sunrise dan menunggu beberapa jam kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah mendapat kabar pasti bahwa kerusakan motor yang parah dan mengharuskannya tak dapat melanjutkan perjalanan. Sayang hari terlanjur siang, kondisi panas membuat perjalanan tak begitu menyenangkan lagi karena kondisi badan sudah sangat payah sehingga kami melewatkan kawah bromo yang sebelumnya menjadi angan-angan terbesar kami terutama saya. Akhirnya, Air Terjun Madakaripura pun kami lewatkan karena kondisi hujan, dan waktu yang sudah sore.

Mendaki gunung ternyata tak seperti apa yang terlihat, suka duka pendakian menurut saya adalah 50 – 50, saat itu 17 Agustus menuju Hargo Dumilah, Puncak Lawu.


Jangan dikira naik Gunung adalah pekerjaan mudah, selalu menyenangkan, dan ngehits. Saat itu menuju Hargo Dumilah,  perjalanan begitu menyenangkan di pagi hari, tetapi setelah Watu Jago jalur Cemoro Sewu, semuanya berubah menjadi perjuangan yang keras. Sebagai pendaki amatir, tak mengerti medan adalah kesalahan terbesar saya. Karena bagaimanapun gunung bukanlah tempat rekreasi, yang bisa kita susuri dengan mudah sendirian kecuali bagi mereka yang sudah sangat pro. Perjuangan berhenti sejenak saat tenda telah berdiri dan hari mulai gelap. Menuju terbenamnya matahari, menjadi perjuangan melawan hawa dingin yang menusuk. Alhasil tak bisa menikmati malam karena kondisi badan dan dingin yang tak teratasi lagi. Pagi buta perjalanan berlanjut dan perjuangan dimulai kembali. Tersesat di Pasar Setan membuat kami tak henti mengucap doa. Sampai ketika matahari terbit rasa syukur tak henti mengalir karena jalur yang sudah terlihat menuju puncak setelah berkutat semalaman di hutan gelap tak berarah. Pendakian menuju puncak menjadi perjuangan berikutnya hingga lelahlah yang tersisa saat mencapai puncak. Barulah setelah itu suka yang terasa menghilangkan 50 persen duka yang telah terlalui tadi.

Plesir dadakan Gunung Penanggungan, Pada akhirnya kamu sendirilah yang menentukan pilihanmu sendiri, bukan orang lain.


Dengan ketinggian 1.653 Mdpl, tracking melalui desa Timiajeng, perjalanan dimulai saat kabar kebakaran terdengar di sisi lain bukit wilayah pegunungan. Dinyatakan aman tetapi ekstra hati-hati. Menempuh 3 jam perjalanan akhirnya sampailah kami di puncak bayangan. Kami berdua, memutuskan jalan kami masing-masing dimana saya memutuskan untuk naik sendiri ke puncak Pawitra, Gunung Penanggungan sedangkan teman saya memilih berhenti karena kondisi siang dan seluruh pendaki sudah turun. Hanya tinggal 1-2 saja. Tak sesuai ekspektasi di mana di puncak saya akan menemukan banyak orang, bahkan saat summit pun saya sendirian, tak ada pendaki lain. Beberapa meter menuju puncak baru terlihat 2 orang pendaki yang kemudian turun. Alhasil saya menikmati puncak Pawitra sendirian dengan asap kebakaran sebelah bukit. “Saat itu, hanya aku dan Pawitra, meluap di depan Arjuna (view Gunung Penanggungan).”

Tracking Gunung Prau yang tak semudah kelihatannya dengan cuacanya yang tak bersahabat untuk saya dan kami saat itu.


Gunung Prau dengan ketinggian 2.656 Mdpl jangan dikira mudah untuk sampai puncak. Melalui Jalur Patak Banteng, November 2015 seakan menjadi hari tak terlupakan sebagai pendaki amatir. Menganggap jalur yang akan dilalui mudah, fakta mengatakan kebalikannya. Jalur yang menanjak menuju puncak membuat saya cukup menghela nafas panjang. Hanya bersama satu teman saya, akhirnya kami memilih bergabung dengan mereka pendaki yang sudah terlebih dahulu hafal jalur. Karena bantuan mereka kami sampai di puncak dengan selamat dan tepat waktu. Benar saja hujan semalaman dimulai dari saat kami selesai mendirikan tenda. Alhasil, pagi syahdu di Gunung Prau kala itu menjadi sangat dingin dengan kabut yang menutupi matahari berikut Sindoro Sumbing, Merapi Merbabu yang sebenarnya sangat kami dambakan. Apalah daya saat alam terlah berkata, kita hanya bisa mengikutinya. Hal yang membuat perjalanan ini tak telupa adalah banyak sekali pendaki lain yang saya kenal dan berbagi pengalaman tentang gunung-gungung lain di berbagai daerah lain. Memang segalanya tak melulu sesuai ekspeasi, tetapi selalu ada perjalanan berharga dan hal tak terlupakan.

7 jam perjalanan penuh perjuangan, untuk melewatkan Blue Fire Kawah Ijen yang bahkan Turis Asing pun sampai datang kemari untuk melihatnya.


Surabaya – Bondowoso memakan waktu 7 jam perjalanan malam. Berencana berangkat pukul 16:00, 27 Februari 2016 sayang sekali harus dimulai pukul 21:00. Sangat sadar bahwa kita akan melewatkan “Blue Fire” kawah ijen yang hanya bisa ditemui malam menjelang pagi pukul 03:00 – 05:00, kami tetap berangkat walaupun sangat jelas ekspektasi kami hancur saat itu. Berharap ada hal lain yang dapat ditemui, kami sampai di lokasi pukul 06:00 keesokan harinya. Dengan beberapa cerita perjuangannya dimana kami harus bongkar pasang mantol, kehabisan bahan bakar di tengah hutan, personel yang ngantuk berat, dan perjuangan kami lainnya. Sepertinya memang puncak tak akan seindah “katanya” tanpa dilalui dengan perjuangan tak terlupakan. Menikmati keadaan alam di sana, berbagi cerita dengan warga lokal, menambah wawasan dan rasa syukur terhadap hidup kami saat ini. Perjalanan ditutup kembali dengan gagalnya mengunjungi Teluk Ijo (Green Bay) yang berjarak 2 jam dari Kawah Ijen karena hujan dan kondisi badan yang sudah lelah. 

Karena traveling tak selalu sesuai ekspektasi, bukan itu yang melulu dikejar melainkan apa yang bisa didapat di setiap perjalanan seperti pengertian menunggu teman, mengatur waktu perjalanan, menambah teman, dan menikmati hal lain yang tidak melulu soal suka tetapi juga duka yang dapat memberi kita banyak pelajaran. Jadi ketika travelingmu tak sesuai ekspektasi, percaya ada sisi lain yang bisa didapat dari perjalanan tersebut. Karena #InPlesirku seperti kata bijak yang menyatakan bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian.

Artikel ini adalah tulisan saya yang kemudian dimuat di hipwee,
http://www.hipwee.com/list/karena-traveling-tak-selalu-sesuai-ekspektasi/
Hipwee #IniPlesirku @kagung13

0 Comments